Benarkah Guru Indonesia Serendah itu ?
Benarkah Guru Indonesia Serendah itu ?
Oleh : Roskamidar,S.Pd
Guru SDN 05 Sungai Rumbai
Menanggapi apa yang disampaikan oleh Ketua Umum PB PGRI Dudung Nurullah Koswara pada Ragam Sinar Pagi , Rabu 13 Mei 2020. Dudung menyatakan bahwa apa yang disampaikan pengamat pendidikan Indra Charismiaji sebagai hal yang merendahkan profesi guru. “ Pernyataan ini menyakiti perasaan sebagian besar guru.”demikian ketua umum PB PGRI bereaksi.
Pernyataan Indra Charismiaji sebagai pengamat pendidikan yang mempertanyakan bagaimana mungkin pendidikan di Indonesia akan maju jika guru-gurunya anti kritik. Maunya gaji besar tetapi kualitas rendah, adalah sesuatu kritikan yang salah besar. Kritikan yang fatal dan sekaligus menyakiti perasaan sebagian besar guru di Indonesia. Dudung mempertanyakan apakah benar semua guru demikian? Apakah benar guru maunya gaji besar namun kualitas rendah?
Sejalan dengan itu Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan pengamat public Prof Dr Cecep Darmawan menyayangkan sikap Indra Charismiaji. Harusnya dia tidak megeneralisasikan semua. Karena tidak semua guru seperti itu. Kritikannya cenderung melecehkan profesi guru. Bukan kritik membangun. Padahal dia mendapatkan ilmu sehingga bisa mengkritik adalah dari seorang guru.
Adalah wajar sebagai Ketua Umum PB PGRI Dudung Nurullah Koswara marah besar dengan kritik yang sifatnya menyudutkan guru. Tanpa mengkaji lebih dalam tentang perjuangan guru dalam menunaikan tugasnya. Tentang kurangnya payung hukum yang melindungi profesi guru. Tentang usaha guru untuk meningkatkan pendidikan dengan cara swadaya. Tentang banyaknya guru yang dibayar sangat rendah. Dan juga tentang banyaknya factor lain yang membuat rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Hendaknya kita bijak menilai sesuatu sebelum mengambil kesimpulan. Harusnya dikaji dari dua sisi yang berseberangan. Agar kita bisa mengambil kesimpulan yang netral. Lagipula kritik yang sehat adalah kritik yang membangun, bukan menvonis . Kritik yang disertai dengan solusinya. Bahkan di sekolah dasar saja sudah diajarkan cara mengkritik yang baik tanpa menyinggung perasaan orang yang dikritik.
Keberhasilan pendidikan tidak bisa dinilai dari satu sisi guru saja. Menurut teori Tabularasa manusia lahir ibarat kertas kosong. Ia akan berwarna sesuai dengan apa yang ditorehkan kepadanya. Yang pertama menorehkan warna pada seorang manusia adalah orang tua. Kemudian lingkungan. Dan kini pendidikanlah yang bertanggungjawab tentang keindahannya.
Apakah mungkin guru bisa mejamin warna itu sesuai keinginan kita semua? Hendaknya kita paham bahwa andil pendidikan terbesar justru terletak pada orang tua. Di samping itu pengaruh lingkungan tak kalah besarnya. Adalah tak adil jika rendahnya mutu pendidikan dituding hanya karena kekurangan guru semata. Oleh karena itu rendahnya mutu pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan sebagai rendahnya mutu guru-gurunya.
Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama. Orang tua bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak di rumah. Bagaimanapun waktu mereka lebih banyak di rumah daripada di sekolah. Guru bertanggung jawab atas penyampaian materi dan pendidikan di sekolah. Selama tujuh jam di sekolah sikap dan kelakuan anak-anak diasuh oleh guru. Lingkungan yang kondusif sebagai sarana pendidikan adalah tanggung jawab semua lapisan masyarakat. Dan Pemerintah adalah penanggungjawab keberlangsungan pendidikan melalui kurikulum. Kebijakan-kebijakan pendidikan sangat besar pengaruhnya pada hasil pendidikan itu sendiri.
Dari sisi guru, kita sudah melihat bahwa guru dengan segala daya telah berupaya meningkatkan kualitas dirinya. Mereka melanjutkan pendidikan dengan swadaya. Bahkan lebih banyak guru yang kuliah secara swadaya dibanding dibiayai pemerintah. Apalagi kalau dibanding dengan pegawai lainnya. Para guru senantiasa bersemangat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seperti S2 dan S3.
Selain itu setiap ada kesempatan menimba ilmu baru, guru-guru menjadi lebih bersemangat. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar, dan sebagainya. Hanya karena kesempatan yang kurang sehingga sebahagian guru terhalang untuk berkembang. Mungkin karena jam belajar yang padat, atau tempat tinggal yang jauh di daerah. Apalagi bagi guru-guru di daerah terluar, terjauh, dan tertinggal (3T).
Selain itu masih banyaknya guru yang dibayar murah menjadi salah satu kendala. Kalau tidak memakai guru honorer maka pemerintah harus melengkapi jumlah guru sesuai rombel yang ada. Kita tak bisa menghitung jumlah guru dari rasio jumlah siswa, karena setiap guru tak bisa mengajar dua rombel sekaligus. Walaupun siswanya sedikit.
Karena itulah maka setiap sekolah masih memakai tenaga honorer, dan mereka dibayar sangat murah. Masih jauh di bawah UMR. Bagaimana mungkin kita menuntut pekerjaan mereka maksimal dengan kehidupan seperti itu. Bahkan jauh dari gaji buruh kasar yang tetap memperhatikan UMR. Itulah sebenarnya yang disebut oleh Yusuf Kalla sebagai suara yang keras kalau dibaca tentang kesejahteraan. Adalah usaha agar gaji para guru yang di bawah UMR segera diperbaiki.
Kalau dengan usaha seperti itu, masih rendah juga mutu guru, harusnya kita pikirkan bersama, bagaimana agar ketertinggalan itu dapat diminimalisir. Mungkin dengan mengadakan pelatihan secara bertahap dan bergilir hingga semua bisa merata. Atau bahkan dengan melengkapi sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan. Jangan hanya mengkritik tanpa bisa memberi solusi nyata.
Di samping pribadi guru tersebut , kurangnya payung hukum yang melindungi profesi guru juga bisa menghambat kemajuan pendidikan itu. Banyaknya guru yang dipenjara karena proses pendidikan adalah momok tersendiri bagi para guru. Sehingga berujung pada longgarnya aturan di dalam pendidikan itu sendiri.
Adalah tak adil kalau menyatakan guru tidak mau dikritik. Jika kritikan itu bersifat membangun dan disampaikan secara santun. Karena para guru memahami bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Jika kita berharap menuju kesempurnaan hendaklah kita berkolaborasi, saling bersinergi memperbaikinya.
Sungai Rumbai, 13 Mei 2020
Luar biasa
BalasHapustrimakasih Mr BamS
BalasHapus