Aku Mengerti Mama
Aku Mengerti Mama
Trenyuh hatiku. Kala kuingat kejadian itu.
Sampai sekarang pun tetap menyisakan rasa pilu di hatiku. Aku tak hendak
mengulangnya. Walaupun memang tak ada lagi kemungkinan untuk mengulangi semua
itu.
Telepon dari putri sulungku
mengawali rasa panik malam itu.
“Mama, teleponlah adik tu, dia
belum makan dari tadi.” Begitu putriku mengawali percakapan kami. Suara
seraknya mengisyaratkan ada air mata di
sana.
Aku panik. Benarkah si kaki
belalangku belum makan ? mengingat ini sudah jam sembilan malam, sudah berapa
jam putriku itu menahan lapar ? apa yang terjadi ? pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di kepala ini.
Segera kupencet tombol ponsel
yang bisa menghubungkan kami.
“ Assalamualaikum Mama !”
suara riang di seberang sana sedikit mengobati kecemasanku. Tapi bukan berarti
aku bisa nyaman, seperti biasa.
“ Waalaikum salam. Ada apa, Dik
? Kenapa belum makan ?” segera saja kusambut kehadirannya dengan pertanyaan
yang memang sudah sejak tadi bercokol di otakku.
“ Ah, Mama. Siapa bilang Adik
belum makan ?” dia malah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan pula.
“ Dik, jelaskan ke mama ada
apa ?” kupertegas kecemasan di dalam tekanan suaraku. Tentu saja
aku hampir menangis mengingat apa yang terjadi.
“ Mama, Adik kehabisan uang
belanja. Sisanya hanya mampu membeli segelas kopi. Jadi Adik memutuskan minum
kopi saja tadi di kampus.”
“ Tapi, kenapa Adik tidak memberitahu
Mama ? “
“Kan Mama sendiri yang bilang
agar Adik lebih hemat berbelanja. Dan mama sudah tak punya uang lagi. Jadi Adik
pikir tidak usah dulu Mama tahu. “
Jantungku bagai diiris
mendengar penjelasannya. Air mata ini mengalir tanpa bisa dibendung lagi. Ada
penyesalan yang begitu dalam di sana. Ternyata aku salah bicara. Ternyata aku
salah memahami putriku sendiri.
Namun di balik itu semua aku
juga menyesali putriku. Kenapa dia menerima mentah – mentah ucapan mamanya ini.
Kenapa seorang mahasiswa UGM tak mencerna kalimat mamanya sendiri sebelum
mengambil kesimpulan.
Bukannya Mama tak punya uang,
Nak. Mama hanya ingin kalian lebih hemat dari biasanya. Kalimat itu hanya mampu
kutelan saja. Tak tega menyampaikan kepada mereka lagi.
Sejak saat itu aku selalu
berhati – hati berbicara dengan kedua putriku. Aku tak ingin mereka salah paham
lagi. Bagiku kebutuhan mereka jauh lebih penting daripada apapun di dalam
hidupku.
Komentar
Posting Komentar